***
SETELAH memberikan
instruksi dengan suara lantang, entah bagaimana caranya, Maryam
sekonyong-konyong telah berada di atas genteng atap Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) Mataram.
Perempuan guru menari yang didatangkan khusus dari Ibu Kota Jakarta itu tiada takut berdiri tegak di sana.
Mata mereka selurunya tertuju pada aksi
Guru Maryam. Jangan tanya bagaimana gemuruh dada dan kencangnya detak
jantung para siswa itu.
Mereka cemas bukan main. Baru seminggu
mereka dikumpulkan. Lalu berlatih. Bahkan, mereka belum saling mengenal
satu sama lain. Tapi mereka telah diminta tampil.
Yang menonton pun tak sembarang. Ada Menteri Agama RI kala itu, Prof. HA Mukti Ali. Lalu ratusan ribu pasang mata. Tak cuma datang dari Mataram, Lombok, atau Sumbawa. Tapi datang dari seluruh Indonesia.
Lagian, para siswa itu bukanlah penari
beneran. Mereka juga tak mengenal apa itu tarian kolosal. Boro-boro tari
begitu. Tari tradisional yang biasa-biasa saja, mereka tak mengenalnya
dengan fasih.
Tapi, tekad Bu Guru Maryam, menjadikan para siswa itu berusaha meyakinkan diri. Bahwa mereka bisa.
Tak lama setelah berada di atas genteng,
diiringi musik dan tetabuhan, aksi menari 5.000 siswa itu pun dimulai.
Dari lapangan, 5.000 siswa mengikuti gerakan yang diperagakan Maryam di
atas genteng.
Alhamdulillah, tak ada kendala berarti. Tarian kolosal itu mulus. Diakhiri dengan formasi membentuk sebuah tulisan MTQ VI 1973.
Standing ovation dan tepuk tangan
gemuruh tiada henti bergema. Sejarah kemudian mencatat, 43 tahun
berselang, tarian itu sebagai tarian kolosal pertama yang dipersembahkan
para pelajar di NTB dengan gelimang sukses.
Begitulah sepenggal kemeriahan
penyelenggaraan MTQ Nasional tahun 1973 yang digelar di Mataram. Itu
adalah kali keenam MTQ Nasional digelar setelah MTQ pertama dimulai
pemerintah Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX
di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan tahun 1968.
Kala itu, MTQ adalah event tahunan.
Setelah di Ujung Pandang, MTQ berturut-turut digelar di Bandung, Jawa
Barat tahun 1969, Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1970, Medan,
Sumatera Utara tahun 1971 dan DKI Jakarta pada 1972.
Kemeriahan itu dituturkan kembali kepada
Lombok Post oleh Prof Zainal Asikin, Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Mataram. Asikin yang kala itu masih menempuh jenjang
pendidikan kelas II SMA, adalah salah seorang dari 5.000 pelajar yang
menari kolosal.
Selama seminggu berlatih, dalam sehari
kata Asikin, para pelajar itu melatih gerakan tiga kali. “Kita
diwajibkan untuk menghafal gerakan,” kenangnya.
Kendati begitu, Asikin tak tahu persis,
tarian apa sesungguhnya yang mereka tampilkan. Mereka hanya dibuat dalam
puluhan kelompok, dan masing-masing kelompok menyiapkan gerakan
masing-masing.
Mereka pun berlatih di sebuah lubang besar di tengah lapangan. Lalu dari atas lubang, pelatih tari memantau gerakan mereka.
Asikin masih ingat. Mereka diminta
menganakan pakaian khusus. Semua penari juga diberikan tongkat. Uniknya,
tongkat tersebut dapat berubah warna. Dari warna putih, merah dan
hijau. Sebelum menari, seluruh penari dikumpulkan.
“Kita disuruh berdoa. Agar tarian yang disuguhkan itu sukses,” kenangnya.
Sungguh. Pagelaran MTQ tahun 1973 itu
bukanlah hal mudah bagi NTB yang kala itu dipimpin Gubernur Raden Wasita
Kusumah. Daya dukung NTB begitu terbatas.
Bayangkan saja. Saat itu di Kota Mataram
baru ada dua hotel. Itupun hotel kecil. Adanya di Ampenan. Lalu
restoran dan rumah makan juga terbatas. Juga konektivitas dari dan ke
daerah. Baik jalur laut dan udara.
Jaringan jalan pun belum banyak. Jalan Udayana yang membelah Kota Mataram menuju eks Bandara Selaparang saja belum ada.
Bahkan, HL Azhar, mantan Wakil Gubernur
NTB yang kala itu masih sebagai staf di kantor gubernur NTB mengenang,
kantor-kantor pemerintah saja belum banyak. Sementara listrik adalah
barang langka.
Jalan-jalan protokol di Mataram tak
seperti sekarang. Bahkan, kata Azhar, lokasi MTQ Nasional VI di Lapangan
SPG Mataram kala itu dia ibaratkan seperti Padang Arafah. Mengingat
kondisinya yang gersang, minim pepohonan.
Bagi Azhar, persiapan venue kala itu
juga tak ada yang mencolok dan jor-joran. Persiapan kata dia, nyaris
biasa saja. Semua karena memang serba terbatas.
Kecuali mempersiapkan masyarakat. Sebab,
kesiapan masyarakat itulah ternyata yang akhirnya menjadi kunci
suksesnya MTQ tahun 1973 itu.
Yusuf, warga Dasan Agung, Kota Mataram,
yang kala itu ikut berpartisipasi mementaskan atraksi Cupak Gerantang
untuk menghibur para kafilah, mengenang bagaimana gubernur saja turun
langsung ke masyarakat untuk mengajak masyarakat. Para tuan guru, tokoh
agama juga berpartisipasi aktif sangat.
Itu sebabnya partisipasi masyarakat
menjadi begitu besar. Bahkan, tak cuma masyarakat muslim. Mereka yang
non muslim pun turut terlibat. Bahkan, disebutkan, dalam sejumlah event
pembukaan, mereka yang non muslim pun ikut tampil memeriahkan.
Maka jangan heran, kalau kemudian
partisipasi itu akhirnya menjelma menjadi gelombang modal luar biasa
bagi NTB. Itu sebabnya, saban hari selama penyelenggaraan MTQ tersebut,
keramaian adalah pemandangan utama.
Arena utama padat bukan main. Gelombang
masyarakat yang datang menonton antusias bukan main. Saking banyaknya
penonton yang datang, melihat panggung utama adalah barang langka. Tak
semua penonton bisa.
Yusuf masih ingat. Bagaimana padat
sesaknya venue. Jalan dari perempatan Bank Indonesia sekarang hingga ke
kantor gubernur penuh sesak.
Warga datang dari seantero penjuru.
Mereka datang besama keluarga. “Entah dari mana mereka datang. Dan di
mana mereka menginap,” kata Yusuf.
Dalam foto-foto pagelaran MTQ yang
didapat Lombok Post, terlihat masayrakat datang membawa makanan dengan
rantang. Mengajak anak, sahabat dan handai tolan.
“Karena tidak bisa melihat panggung
utama. Banyak penonton yang datang kemudian mendengarkan suara para
qoriah melalui siaran radio saja. Tapi mereka hadir di sana,” kata
Asikin.
Diangkut Bus
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hakim,
Kediri, Lombok Barat, TGH Syafwan Hakim menuturkan, pemerintah rupanya
diam-diam menggalang para penonton.
Antara lain, pemerintah menyiapkan bus untuk menjemput para santri di pondok pesantren untuk datang menyaksikan MTQ.
“Itu berlangsung setiap hari sehingga,
selama acara pelaksanaan berlangsung dijelaskannya tidak pernah sepi,”
kata TGH Syafwan pada Lombok Post.
Dia ingat betul bus yang menjemput
tersebut. Para santri di Nurul Hakim kata dia sangat antusias karena
bisa ikut menyaksikan MTQ setiap hari selama pelaksanaan berlangsung.
Entah bagaimana caranya. Yang dia ingat,
meski saat itu kemajuan teknologi dan informasi masih terbatas, gaung
MTQ menggema ke seluruh wilayah NTB.
“Benar-benar terasa kalau kita memang sedang mengadakan MTQ. Sampai ke pelosok juga ikut merasakan,” kata dia.
Event Terbesar
Bagi Yusuf, kala itu masyarakat
sebetulnya tak begitu mengenal ada lomba apa saja dalam event MTQ ini.
Namun, diakuinya event tersebut telah menjelma menjadi event besar. “Ite begawe beleq belaq, (pesta besar-besaran),” katanya.
Dia ingat betul. Bahwa tak ada seruan
untuk datang menyaksikan MTQ. Yang ada kala itu adalah seruan untuk
menghadiri pengajian akbar.
“Zaman itu, pengajian itu bagi masyarakat ibarat konser musik seperti sekarang,” katanya. “Jadi pasti ramai sekali,” tambahnya.
Akses pendidikan yang terbatas,
menjadikan masyarakat sangat antusias kata dia menghadiri pengajian.
Melalui pengajian itulah masyarakat akhirnya bisa menambah ilmu.
Menambah bekal dalam menjalankan agama.
Jangankan mereka yang tinggal di
berbagai pelosok Pulau Lombok. Mereka yang tinggal di Kota Mataram saja
kata Yusuf sangat antusias kalau ada pengajian akbar.
Pengetahuan Baru
Sejarah kemudian akan mencatat, betapa
pagelaran MTQ kala itu telah memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat
NTB. “DI MTQ ini pula kami baru pertama mengenal apa itu qasidah,” kata
Yusuf.
Sebelumnya, musik qasidah itu tak begitu
dikenal di NTB. Beberapa lagu qasidah sudah ada yang tahu. Tapi,
bagaimana group qasidah memainkan lagunya. Bagaimana para pemusik
mengiringinya. Tak ada yang tahu. Tak ada yang pernah menyaksikan.
Soal musik, pengetahuan masyarakat NTB
kala itu tak lebih dari musik-musik khas tradisional. Macam rebana, atau
juga musik cilokaq. DI luar itu, tak ada perbendaharaan musik lain yang
dikenal.
Prof Zainal Asikin menuturkan, kala
itu, pemerintah memang mendatangkan group qasidah dari Jakarta
dan Semarang. Namanya Nasida Ria.
Group qasidah ini hingga awal 1990-an
memang merupakan group qasidah paling ternama di tanah air. “Dulu yang
terkenal itu nama penyanyinya Tutik Alawiyah,” kenang Asikin.
Sejak saat itu pula, lagu qasidah yang liriknya sangat ternama hingga saat ini mulai dikenal. “Liriknya itu: yadana… ya dana dana..,” kata Yusuf berdendang sembari menirukan lagu qasidah tersebut.
Dalam pagelaran MTQ tahun 1973 itu,
keluar sebagai juara umum adalah Provinsi Sumatera Utara. Pada pagelaran
yang sama, qori asal Sumatera Utara atas nama H Rahmat Lubis tercatat
sebagai juara tilawah kategori dewasa.
Tilawah adalah cabang paling bergengsi
dalam MTQ. Sementara untuk qoriah terbaik menjadi milik Nurbaini Ramli,
asal Kalimantan Barat.
NTB sendiri baru mencatatkan diri
sebagai daerah dengan qoriah terbaik pada MTQ Nasional tahun 1985 yang
digelar di Pontianak, Kalimantan Barat. Qori terbaik nasional dari NTB
itu adalah H Nasir Cidung.
Jangan Kalah
Kini, ketika MTQ Nasional ke-26 kembali
digelar di NTB akhir Juli ini, harapan publik pun kembali membuncah.
Ketika dulu, di tengah keterbatasan saja, NTB mampu menjadi tuan rumah
yang sukses, maka ketika kini segalanya serba ada, kesuksesan sebagai
tuan rumah itu adalah keharusan.
Apa yang kurang? Teknologi tarnsportasi
begitu maju. Sehingga TGH Syafwan Hakim mengingatkan, harusnya
kemeriahan MTQ tahun 216 ini tak hanya pada acara pembukaan saja.
Melainkan bagaimana gaung dan kemeriahannya berlangsung selama proses
berlangsung hingga usai.
Apalagi sekarang kan lokasinya berbeda-beda di 13 titik. Jangan sampai di salah satu lokasi, ada yang sepi penontonnya.
“Kan kurang pas rasanya kalau saat lomba berlangsung yang nonton hanya peserta itu sendiri,” kata Syafwan mengingatkan.
Source: Lombokpost.net
1 komentar:
terima kasih infonya.!!
Cara Menyembuhkan Perlemakan Hati Secara Alami
Posting Komentar